Minggu, 06 November 2011

Kurban dan Peran Sosial

Kurban dan Peran Sosial

Memeringati Hari Raya Idul Adha (Kurban) sesungguhnya menuntut kembali ketakwaan dan peran umat Islam di tengah realitas sosial. Sebab, hari raya ini sangat jauh dari mitos-mitos di balik penyembelihan hewan, bahkan secara tegas dalam firman-Nya, dikatakan dalam Al Quran bahwa Tuhan tak menilai darah dan daging hewan kurban, melainkan hanya menilai ketakwaan seseorang (QS 22:37).

Dari sisi itu, jelas bahwa Hari Raya Kurban ingin meneguhkan ketakwaan di satu sisi dan di sisi lain menyiratkan pesan bahwa berkurban sangat jauh dari mitologi penyembelihan hewan seperti dituduhkan kaum Jahiliyah pada masa Nabi Muhammad. Sebaik-baiknya pesan takwa, kemudian tak berhenti hanya pada penghadiran kembali akan Tuhan dalam iman, namun melampaui itu, iman akan Tuhan kemudian harus diimplementasi ke dataran realitas-sosiologis sehingga kehadiran umat Islam berperan dalam setiap aspek kehidupan sosial.

Realitas Sosiologis

Pada skala yang bertataran mikro dan simbolik, dalam Hari Raya Kurban, umat Islam yang berkecukupan secara ekonomi diperintah untuk berkurban. Ia membeli hewan kurban seperti domba untuk satu orang, sedang hewan lain seperti kerbau atau sapi bisa untuk lima orang lebih.

Sekali lagi, nilai-nilai yang dituangkan dalam mekanisme seperti itu adalah dalam rangka memupuk iman dan ketakwaan pada Tuhan yang kategorinya dijustifikasi oleh ketentuan hukum (fiqh). Hewan-hewan kurban itu lalu disembelih, kemudian dagingnya dibagi-bagikan hingga menjangkau lebih dari 30 orang fakir-miskin (untuk satu hewan kurban) dalam komunitas tempat seseorang yang berkurban itu tinggal.

Jika dilihat pada skala makro, pesan Hari Raya Kurban menyiratkan tentang pentingnya arti kepedulian akan sesama. Maksudnya jelas, ketakwaan bukan berarti hanya kesalehan individu yang tak menyentuh dengan persoalan-persoalan, misalnya, kemiskinan. Namun di situ ketakwaan mesti berimplikasi pada peneguhan identitas seorang muslim untuk turut berpartisipasi secara konkret terhadap pengentasan kemiskinan dan berkiprah dalam realitas sosial. Kesadaran untuk peduli terhadap sesama jelas sangatlah penting karena kehidupan manusia pada intinya saling bersimbiosis. Mereka yang kaya membutuhkan mereka yang miskin, begitu pula sebaliknya.

Manusia merupakan makhluk sosial yang berstrata serta harus saling berinteraksi dan saling mengisi dalam ke-strata-annya. Dalam ajaran Islam, seseorang diperintahkan untuk mencari kekayaan karena kemiskinan akan membawa pada kekafiran, seperti bunyi hadis Nabi berbunyi kadza al-Fakru 'an yakuna kufro (kemiskinan akan membawa pada kekafiran).

Namun ketika Tuhan telah memberi rezeki yang banyak dan memberi kekayaan pada seseorang, maka sudah sepatutnya pula kekayaannya diperuntukkan untuk membantu mengentaskan kemiskinan dan berguna bagi realitas sosiologis. Karena kesadaran akan iman kemudian mengantarkan pengetahuan bahwa kemiskinan akan membawa kekafiran, atau bahkan bisa mengakibatkan kerusakan jiwa pada orang yang miskin, maka tugas mengentaskan kemiskinan adalah bersifat wajib bagi tanggung jawab orang kaya.

Rasa peduli itu di tengah-tengah kebudayaan-globalitas-modernitas yang menyelubungi setiap orang di zaman sekarang ini, terasa sudah sangat menipis, asing, dan langka. Budaya globalitas-modernitas yang terselundup dalam relung kesadaran setiap orang seakan membuat demarkasi dengan pesan-pesan kebajikan substansial keagamaan. Sebaliknya, pesan-pesan substansial keagamaan yang ada dalam keyakinan setiap orang beragama terasa semakin menipis, sehingga terkadang diperlukan adanya suatu peringatan-peringatan kembali dalam ranah keagamaan yang mesti diimplementasi dalam ranah sosiologis, seperti adanya perayaan kurban, untuk memacu kesadaran pada setiap orang agar kembali pada pesan-pesan takwa.

Membumikan Kurban

Selama ini, pembumian pesan-pesan keagamaan hanya diimplementasikan dalam persoalan-persoalan hukum. Atau bisa dikatakan, pola keberagamaan kita sangat berwajah fikih (fikih oriented), yang sangat kaku dan formalistis. Sifat fikih yang formalistis itu jelas berpendekatan struktural, dalam arti ada ketentuan-ketentuan batasan yang diberlakukan.

Misalnya, berkurban untuk satu orang adalah dengan satu ekor domba, sedangkan untuk dua orang dengan dua ekor domba. Hal-hal seperti itu sudah diatur dalam kitab-kitab fikih. Padahal, berkurban-karena berimplikasi pada realitas sosial-mestinya tak dibatasi dengan ketentuan seperti itu. Akan tetapi dibatasi (atau pembatasannya) secara kultural ditentukan hingga di mana tingkat kemampuan seseorang bisa memberinya.

Padahal, pesan-pesan Islam tak selamanya (dan tak diwajibkan) mesti hanya didekati dengan pendekatan struktural model fikih seperti itu. Tapi justru pendekatan kultural akan lebih melatih tingkat sensitivitas nilai keberagamaan dan iman seseorang. Di mana kesadaran berkeagamaan baiknya dibangun lewat dimunculkannya nilai-nilai kesadaran kultural itu, sehingga pesan-pesan agama yang terselundup dalam iman seseorang ketika akan diimplementasikan tak bersifat paksaan (atau agama seperti memaksa). Namun implementasi pesan-pesan agama karena terbangun melalui kesadaran kultural, maka bersifat tulus datang dari kesadaran berkeagamaan seseorang itu sendiri.

Melihat tradisi keagamaan yang selama ini dibangun dengan mekanisme dan pendekatan fikih yang formalistis dan struktural seperti itu, sudah saatnya lewat peringatan Hari Raya Kurban tahun ini, pembumian Islam dibangun lewat suatu tradisi baru yang lebih bersifat kultural karena hampir sama dengan nilai-nilai ketakwaan itu sendiri, yang datang secara kultural ke dalam iman umat Islam untuk kemudian terimplementasikan dalam ranah sosiologis.

Dengan pembumian kurban, dan juga pembumian ajaran-ajaran Islam lainnya secara kultural, mudah-mudahan umat Islam dapat memahami, menilai, dan mengeksekusi segala persoalan keagamaan yang ada, baik yang bersifat ubudiah maupun amaliah-insaniah, tak bersifat kaku dan formalistis, akan tetapi bisa secara egaliter, cerdas, dan substansial dapat mengartikulasi pesan-pesan dalam ajaran Islam ke dalam tataran sosial yang ada.*

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/75346

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar